Sururon Membangun SMK Alternatif

>> Rabu, 06 Mei 2009

Setahun lalu, melanjutkan sekolah masih menjadi angan-angan bagi Sarif dan kawan-kawannya. Tiga tahun sudah Sarif tinggal dan bersekolah di Madrasah Tsanawiyah Sururon, sekolah alternatif komunitas petani di Desa Sarimukti, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Setelah lulus SMP, ia pun tidak tahu ke mana harus melanjutkan sekolah. Untuk bersekolah di SMP pun ia tidak punya biaya, apalagi untuk berselolah di SMA. Masalah itu pula yang dihadapi kawan-kawannya yang baru lulus dari Tsanawiyah Sururon.
Mengapa tidak membuat saja sekolah sendiri? Gagasan itu muncul saat Sarif dan kawan-kawannya berkumpul di perpustakaan sekolah. Perpustakaan itu tidak lain adalah bangunan berdinding bambu yang sekaligus dipergunakan sebagai ruang guru, ruang komputer, dan “laboratorium”, dan tempat tinggal guru. Bangunan itu berdiri di atas kolam ikan yang menjadi salah satu sumber penghasilan sekolah.
Ide itu pun disampaikan pada guru-guru Sururon. Gayung pun bersambut. Bermodalkan semangat sekolah itu terwujud. Karena tidak ada ruangan yang tersisa, mereka meminjam ruangan dari madrasah lain yang ada di desa itu. Aparat desa pun kemudian terlibat. Melalui pertemuan warga, Kepala Desa Sarimukti Yayan Supriyatna setuju meminjamkan tanah bekas gedung olahraga yang telah roboh untuk sekolah. Bukan itu saja, desa juga meminjamkan tanah seluas satu hektar sebagai lahan untuk anak-anak bertani.
“SMA tidak cocok. SMK Pertanian lebih cocok dengan kebutuhan dan lingkungan di sini,” kata Sarif.
Jadilah SMK Alternatif Sururon.
Menurut Sarif, tidak semua anak setuju dengan ide mendirikan SMK itu. Beberapa di antaranya memilih berhenti bersekolah. Mereka kemudian bekerja menjadi buruh tani, tukang bakso, atau pedagang keliling. Sarif mantap dengan pilihannya: melanjutkan sekolah.
“Kalau ilmu sudah di otak, uang tidak akan kemana-mana,” kata Sarif.
Bahan bangunan diperloleh dengan membongkar bangunan tempat pembibitan jamur milik seorang warga yang tidak terpakai. Di sela-sela bersekolah dan bertani, Sarif bersama sejumlah kawannya membantu bekerja mendirikan bangunan sekolah semi permanen berdinding bambu. Bangunan itu sampai sekarang masih dikerjakan.
Berbeda dengan SMK konvensional, sebagian besar waktu belajar siswa SMK Alternatif Sururon dihabiskan di lapangan. Guru yang mengajar adalah juga guru-guru Madrasah Tsanawiyah Sururon. Mayoritas pengajar direkrut dari warga setempat. Ada yang hanya lulusan SD, ada lulusan SMP. Hanya ada seorang sarjana. Siswa tidak hanya belajar dari buku tetapi juga dari masyarakat. Sebelum bertanam, anak-anak itu melakukan wawancara untuk menggali pengalaman petani yang berhasil dalam bertanam.
“Kami ingin sekolah ini jadi kebanggan desa,” kata Ridwan Saefudin alias Ince, mantan rocker yang memilih menghabiskan hidupnya menjadi guru Sururon tanpa gaji ataupun honor tetap.

Sururon merupakan salah satu sekolah alternatif yang membuktikan diri bisa eksis. Sekolah alternatif Sururon berdiri enam tahun lalu. Sekolah itu dirikan bersama oleh para aktivis Serikat Petani Pasundan (SPP), petani anggota serikat di Sarimukti, bersama pengasuh pondok pesantren Sururon. Tahun pertama, Madrasah Tsanawiyah Sururon meminjam ruangan pondok pesantren. Mereka kemudian mendirikan bangunan kayu dilapisi dinding bambu di atas kolam ikan. Madrasah Tsanawiyah Sururon sekarang telah memiliki tiga bangunan. Semuanya berdinding bambu, berlantai kayu, dan berdiri di atas kolam.
Kini Sururon memiliki sekitar 200 murid, 45 di antaranya murid SMK Alternatif Sururon. Dua tahun lalu, pemerintah mendirikan SMP Negeri Pasir Wangi yang hanya berjarak beberapa kilometer dari desa Sarimukti. Sururon tetap eksis.
Meski mengadopsi kurikulum nasional, Madrasah Sururon tidak mengikuti pakem yang ditentukan birokrasi pendidikan. Banyak gurunya tidak memenuhi kualifikasi yang ditetapkan pemerintah. Murid belajar dengan lesehan dengan menggunakan meja kayu setinggi 30 sentimeter. Dengan gaya seperti itu Sururon bisa meluluskan siswanya melewati Ujian Nasional. Mereka lulus tanpa katrol-mengatrol. Bahkan dalam tiap penyelenggaraan UN, Sururon seolah mendapat perlakuan khusus. Ujian dijaga polisi bersenjata lengkap.
Enam anak lulusan pertama Madrasah Sururon melanjutkan ke Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA) Garut. Mereka tidak hanya bisa berkompetisi dengan lulusan dari sekolah lainnya tetapi malah termasuk kelompok anak-anak yang berprestasi. Enam anak itu mengikuti Ujian Nasional tahun ini. Bila tidak ke perguruan tinggi, mereka akan kembali ke Sarimukti untuk ikut mengajar di Sururon.
Meski telah membuktikan eksistensinya, Sururon masih bergulat dengan keterbatasan. Semua gurunya bekerja secara sukarela. Tidak ada yang memperoleh gaji atau honor tetap. Biaya operasional sekolah mencapai Rp 10 juta per bulan, sebagian diperoleh dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Sekolah terus mencoba bertahan dengan membuat kolam ikan, beternak domba, dan menggarap lahan pertanian.
“Kami masih harus berpikir keras untuk memberikan kesejahteraan kepada guru,” kata Ridwan. (wis)

0 komentar:

About This Blog

Lorem Ipsum

  © Free Blogger Templates Digi-digi by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP