Guru, Korban atau Pelaku Korupsi?

>> Rabu, 06 Mei 2009

Guru, Korban atau Pelaku Korupsi?

Ade Irawan, Kepala Divisi Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch / Sekretaris Koalisi Pendidikan


Pendahuluan

Korupsi menjadi penyakit akut yang terus menggerogoti Indonesia. Menyebar ke semua sektor mulai sekolah, departemen, hingga Badan Usaha Milik Negara. Modal material maupun immaterial hancur atau hilang. Dalam catatan Indonesia Corruption Watch, sepanjang tahun 2006, paling tidak negara dirugikan sebesar Rp. 14,6 triliun akibat praktek korupsi.

Pendidikan merupakan salah satu sektor tempat korupsi tumbuh subur. Praktek tercela tersebut terjadi di semua tingkatan, mulai dari Departemen Pendidikan hingga sekolah. Modus, objek korupsi, serta kerugian material yang disebabkannya pun berbeda-beda, tergantung pada posisi pelaku berada. Semakin tinggi level/posisi, semakin canggih modus yang dipakai dan semakin besar kerugian material yang mesti ditanggung oleh negara.

Menurut Jacques Hallack dan Muriel Poisson (2007) korupsi di sektor pendidikan merupakan penggunaan secara sistematis fasilitas publik untuk kepentingan pribadi yang mempengaruhi ketersediaan dan kualitas barang-barang dan pelayanan, serta berdampak pada kemudahan akses, kualitas dan keadilan dalam sektor pendidikan. Bentuknya beragam, mulai dari kolusi, suap, penggelapan, mark up ataupun mark down.

Ada beberapa sebab yang membuat korupsi berkembang di sektor pendidikan. Pertama, sebagai salah satu dari sedikit lembaga pemerintah yang memiliki cakupan yang luas bahkan hingga tingkat komunitas, pendidikan secara struktur sangat menarik jadikan alat untuk melakukan patronase dan manipulasi sentimen lokal.

Kedua, kebijakan pendidikan yang berdampak penting bagi kehidupan masyarakat dibuat oleh ‘penjaga gawang’ yang mengontrol tiap-tiap keputusan pada masing-masing tingkatan. Ketiga, anggaran pendidikan yang besar dibelanjakan untuk membiayai berbagai kegiatan kecil-kecil yang menyebar di berbagai tempat yang umumnya lemah dalam pembukuan dan sistem kontrol.

Korupsi berdampak sangat buruk bagi sektor pendidikan. Sebagai contoh dalam proses penerimaan murid baru, permintaan beragam biaya illegal sebagai syarat agar dapat masuk sekolah telah menurunkan angka partisipasi dan meningkatkan angka drop out. Contoh lain adalah suap dalam proses rekruitmen dan promosi guru yang menyebabkan banyaknya guru di sekolah yang berkualitas rendah. Beberapa contoh tersebut banyak terjadi di negara berkembang seperti Indonesia.

Mengutip pendapat Syed Husen Alatas, korupsi pendidikan Indonesia telah memasuki stadium tiga. Korupsi membinasakan diri sendiri dan merangsang perkembangan lebih lanjut untuk korupsi. Sebagai contoh kasus pengadaan buku ajar di beberapa kabupaten di Jawa Tengah . Eksekutif dan legislatif, termasuk aparat hukum bahu membahu membobol anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) untuk memuluskan penunjukan langsung pengadaan buku dari penerbit tertentu.


Guru dan Korupsi

Selama ini, guru dituding sebagai aktor utama korupsi. Setidaknya hal tersebut dilontarkan umumnya orang tua murid . Beragam biaya yang dibebankan sekolah ditenggarai akan berujung pada kantong korps bersenjata kapur ini. Tudingan itu tidak sepenuhnya ditampik. Syukur Budiarjo mengakui bahwa guru turut andil dalam praktek korupsi.

Menurut Syukur, sebagai warga bangsa yang bertugas mencetak manusia Indonesia masa depan, seharusnya guru mengambil peran penting tersebut dengan cara mencegah menularnya virus korupsi yang telah menggerogoti fondasi dan pilar "rumah" Indonesia. Akan tetapi, guru sebagai instrumen penting pendidikan, apakah mampu mencetak pemimpin yang antikorupsi jika malah menjadi contoh buruk bagi siswa dengan melakukan korupsi. Sebab, guru yang sudah terbiasa berperilaku layaknya penguasa di sekolah, juga tidak dapat menghindar dari tindakan korupsi, bahkan ikut terhanyut ke dalam arus pusaran korupsi.

Selain itu, Hallack mengkategorikan beberapa bentuk praktek korupsi yang berkaitan dengan guru. Pertama, pengangkatan, mutasi, serta promosi guru. Kedua, sistem penggajian; Ketiga, kehadiran guru di sekolah; Keempat, manajemen keuangan sekolah; Kelima, hubungan antara guru dengan peserta didik.

Berkaitan dengan ketidakhadiran di sekolah, Hallack mengkategorikan sebagai bentuk praktek korupsi. Sebab, gaji guru umumnya bersumber dari anggaran negara sehingga ketika guru tidak menjalankan kewajiban, secara tidak langsung negara dirugikan. Indonesia merupakan salah satu negara yang berperingkat tinggi negara-negara yang gurunya kerap absen.

Tabel 1. Rata-Rata Ketidakhadiran Guru dan Implikasi Biaya
No Negara
Rata-Rata Ketidakhadiran Guru Pada Tingkat Dasar (%) Kebocoran Anggaran (Perkiraan Dalam %**)
1 Ekuador (2002) 16 14,4
2 Honduras (2000) 14 12,6
3 India (2002) 25 22,5
4 Indonesia (2002) 18 16,2
5 Papua New Guinea (2001) 15 13,5
6 Peru (2002) 13 11,7
7 Uganda (2002) 26 23,4
8 Zambia (2002) 17 16,3
*dihitung berdasarkan pada asumsi bahwa 90 persen dari budget diberikan untuk gaji guru


Akan tetapi apabila dilihat secara parsial, walaupun benar, pandangan guru merupakan aktor utama korupsi dapat menyesatkan. Sebab, korupsi yang dipraktekan oleh guru tidak berdiri sendiri, tapi dipengaruhi oleh faktor-faktor lain. Guru memang melakukan korupsi, namun mereka pun korban korupsi atasannya, baik secara langsung maupun tidak.

Hal tersebut didukung oleh hasil kajian yang telah dibuat ICW . Mengacu pendapat George Junus Aditjondro mengenai lapisan korupsi, dalam pendidikan setidaknya ada empat lapis korupsi yang saling berkaitan. Korupsi yang dilakukan guru misalnya yang lebih didorong karena kecilnya gaji, berbeda dengan yang dilakukan oleh kepala sekolah atau pejabat dinas yang umumnya bergaji lebih baik.

Tabel 2. Lapisan Korupsi Pendidikan
Lapisan Korupsi Pelaku Modus

Korupsi Lapis Pertama Umumnya guru Menggunakan kewenangannya untuk menarik dana dari siswa. Contoh, memberi nilai kecil saat ujian dan mengadakan ujian ulangan karena siswa yang mengikuti ujian ulang mesti membayar.
Korupsi Lapis Kedua Kepala sekolah sering dibentu komite sekolah dan dinas pendidikan Ada tiga modus; Pertama, penggelapan, tidak merealisasikan dana yang diambil dari orang tua siswa maupun pemerintah; kedua, anggaran ganda, meminta ulang dana pada orang tua siswa untuk kegiatan yang sudah dibiayai pemerintah; ketiga, anggaran tidak ada korelasi dengan kegiatan belajar mengajar, misalnya biaya koordinasi dengan dinas pendidikan
Korupsi Lapis Ketiga Dinas pendidikan Mentender suap proyek-proyek yang diperuntukan bagi sekolah.
Korupsi Lapis Keempat Depdiknas Mentender suap proyek-proyek yang diperuntukan bagi daerah/dinas. Pengerjaan proyek tanpa tender dan dikerjakan perusahaan pejabat Depdiknas.

Masalahnya, bagian mana yang menjadi hulu masalah. Setidaknya ada tiga kondisi yang bisa menjelaskan. Pertama, kenyataan bahwa pendapatan yang diterima guru tidak lebih besar dibanding pengeluaran untuk mendukung proses belajar mengajar. Sebagai contoh, sewaktu mengajar di salah satu sekolah menengah pertama (SMP) swasta di Jakarta, biaya yang dikeluarkan penulis setiap kali datang dan membuat persiapan mengajar mencapai Rp. 45.000, belum termasuk makan. Sedangkan bayaran mengajar dihitung Rp. 10.000/jam. Karena mengajar dalam seminggu hanya enam jam, maka total pendapatan yang diterima sebanyak Rp. 60.000, yang diterima setiap bulan.

Jika dihitung datang ke sekolah seminggu sekali, total pengeluaran dalam satu bulan mencapai Rp. 180.000 (4 minggu dikali Rp.45.000), padahal gaji hanya Rp. 60.000. Jadi setiap bulan defisit Rp. 120.000. Alternatif menutup defisit dan kebutuhan hidup; mencari dana ekstra dari siswa atau ngobyek ditempat lain, bisa di sekolah, bisa juga di pangkalan ojek.

Ketika guru menjual nilai atau meminta uang kepada murid untuk membayar les tambahan, hal tersebut merupakan perbuatan korup. Akan tetapi hal tersebut dapat ditoleransi karena menjadi cara bagi guru untuk survive. Korupsi yang dilakukan oleh guru merupakan respon atas kondisi sulit yang dihadapi oleh mereka.

Pemberian kesejahteraan yang minim menurut Darmaningtyas merupakan kesengajaan penguasa dengan tujuan untuk memarginalkan guru sehingga kehilangan posisi tawar. Guru yang telah kehilangan posisi tawar tidak memiliki keberanian untuk melawan, karena keberanian untuk melawan diidentikan dengan hilangnya sumber pendapatan.

Ada dua faktor penyebab munculnya praktek korupsi. Faktor pertama karena kebutuhan (corruption by need). Korupsi dilakukan karena gaji yang diterima tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup. Faktor kedua karena keserakahan (corruption by greed). Korupsi yang dilakukan oleh guru termasuk yang pertama.

Kedua, guru bukan penentu kebijakan di sekolah. Mereka umumnya diposisikan hanya sebagai pengajar yang bertugas ‘mentransfer’ pengetahuan kepada murid, sedangkan dalam penentuan kebijakan akademis apalagi finansial seringkali diabaikan. Padahal menurut penelitian Bank Dunia kebebasan guru untuk memilih metoda, buku, serta waktu untuk mengerjakan tugas merupakan faktor vital dalam peningkatan mutu belajar mengajar.

Hasil penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW) pada beberapa kota di Indonesia, secara umum menunjukan guru tidak mengetahui kebijakan apa saja yang digulirkan sekolah. Bahkan banyak yang mengaku belum pernah melihat seperti apa bentuk anggaran pendapatan dan belanja sekolah (APBS) di sekolahnya.

Padahal keuangan sekolah baik bersumber dari pemerintah, orang tua murid, maupun pihak lain, dicantumkan dalam APBS. Karenanya agar bisa korupsi, terlebih dahulu mesti mengetahui APBS. Dengan demikian guru yang umumnya tidak ikut merecanakan dan mengelola keuangan, kecil kemungkinan menjadi aktor dibalik maraknya korupsi di sekolah.

Ketiga, guru merupakan ’mata rantai’ terlemah diantara penyelenggara pendidikan lain. Karenanya selalu menjadi korban ’mata rantai’ yang lebih kuat seperti kepala sekolah atau pejabat dinas pendidikan. Selain korban ’obyekan’ atasan, porsi anggaran atau pendapatan yang didapat pun biasanya kecil. Penelitian ICW pada APBS beberapa sekolah di Jakarta dan Tangerang memperlihatkan alokasi anggaran untuk guru tidak mencapai setengahnya porsi untuk kepala sekolah.


Penutup
Walaupun tidak termasuk kleptocracy dan dampak materialnya tidak seberapa, akan tetapi dalam jangka panjang korupsi yang dipraktekan guru akan merusak modal sosial. Secara motorik, murid diajar untuk melakukan korupsi dan biasanya pelajaran yang paling diingat bukan dari hasil ceramah di ruang kelas, tapi yang dipraktekan dalam keseharian guru atau kepala sekolah.

Namun, apa yang dilakukan guru tidak dapat dilepaskan dari kebijakan pendidikan secara umum. Posisi guru bukan sebagai pembuat kebijakan, tapi korban kebijakan. Korupsi yang mereka lakukan merupakan ’akibat’ kebijakan birokrasi yang memarginalkan secara ekonomi maupun politik.

Guru didorong hanya berkutat di ruang kelas. Mereka dituntut menjadi profesional, yang ditandai dengan kemampuan memahami materi kurikulum yang dipatok pemerintah, menguasai teknologi pendidikan. Banyak janji yang diberikan pemerintah bagi guru yang profesional, akan tetapi banyak pula yang diingkari. Bahkan sikap pemerintah justru mendorong upaya deskilling dan deprofesional.

Tidak ada jalan lain bagi guru selain ikut melawan korupsi di sektor pendidikan. Banyak cara dan alat yang dapat digunakan. Akan tetapi, guru bisa memulai dengan menuntut kesejahteraan yang menjadi hak mereka. Program sertifikasi guru yang kini tengah digulirkan pemerintah bisa dijadikan sebagai pintu masuk.

0 komentar:

About This Blog

Lorem Ipsum

  © Free Blogger Templates Digi-digi by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP