BELAJAR MENYENANGKAN DI KOMUNITAS SEKOLAH

>> Rabu, 06 Mei 2009

The Challange of Authentic Education

Joyful Learning in a School Community

oleh Jay and Tony Garland

Buku ini merupakan catatan suami-isteri Jay dan Toni Garland membangun sekolah alternatif di Newhampshire, Amerika Serikat. Sekolah itu dinamai The Well School. Jay sebelumnya mengajar di sekolah yang didirikan pemerintah untuk anak-anak Eskimo. Ketika memulai mengajar, ia mendapati bahwa buku-buku bacaan yang dipakai sama sekali tidak relevan dengan kehidupan anak-anak Eskimo. Atas inisiatif sendiri ia memesan buku-buku bacaan mitologi Yunani kuno yang bisa menjadi bahan diskusi menarik dengan murid-muridnya.
Setelah dua kali masa kontrak, Jay memutuskan meninggalkan sekolahnya. Keputusan itu terutama dilatarbelakangi kekecewaannya setelah mengetahui tujuan sebenarnya sekolah untuk komunitas yang tidak lain merupakan menghilangkan kebudayaan eskimo.

Jay sempat merencanakan pergi ke Inggris untuk mempelajari sistem pendidikan alternatif Waldorf. Akan tetapi rencana itu urung setelah ia ditawari kakaknya untuk mendirikan sekolah sendiri. Kelima anak kakaknya tidak betah sekolah. Berawal dari situlah Jay bersama isterinya membangun sekolah alternatif yang masih eksis sampai sekarang.


The Well lahir sebagai kritik terhadap pendidikan di sekolah-sekolah reguler. Menurut dia, sekolah-sekolah sekarang dikelola mirip perusahaan-perusahaan besar yang tidak sesuai dengan spirit kemanusiaan. Sekolah yang didesain oleh kaum elite industri, kata Jay, menyebabkan banyak siswa miskin dalam kehidupan batinnya. Mereka mirip robot yang tidak memiliki kepribadian, diprogram untuk mengikuti petunjuk, bekerja berdasarkan kepatuhan, dan dipersiapkan untuk menjadi tukang belanja dengan cara berutang.
Jay merupakan seorang guru yang punya dendam terhadap sekolah sekolah reguler. Sampai perguruan tinggi pun, ia tidak bisa menikmati sekolah. Sekolah, dalam pengalaman Jay, telah merampas kebahagiaan masa kecilnya.

Menurut Jay, guru-guru yang pernah mengajar dirinya tidak perlu diragukan kompetensi profesionalnya. Akan tetapi, kata Jay, “Guru adalah sosok bertopeng yang membuat sejumlah parameter di kelas, menentukan setiap aktivitas, dan menentukan kapan sesuatu akan dimulai dan diakhiri. Guru merupakan pembuat peraturan dan pemain orkestra. Guru adalah hakim yang menentukan apa yang dianggap adil, apa yang betul, dan benar. Guru adalah orang yang menjatuhkan hukuman, yang mengontrol apa saja.”
The Well adalah pendidikan yang didasarkan pada kodrat sebagai individu yang tidak terbatas. Sekolah itu tidak didasarkan pada kurikulum yang kaku. Fokus perhatian The Well adalah anak. The Well tidak menyelenggarakan pendidikan konvensional tetapi pendidikan yang menekankan pada hakikat manusia. Sekolah itu tidak mau menjejali anak dengan bertumpuk-tumpuk pengetahuan yang disimplifikasi tetapi mengajak anak membaca karya asli. Pada usia remaja, anak-anak The Well telah membaca dan mendiskusikan cerita-cerita besar tentang spiritualitas, drama-drama terkenal seperti Sopochles, Shakespeare, Eugene O’Neill.
Jay secara terbuka menyatakan bahwa pendidikan yang ditawarkannya bersifat radikal. Dalam arti, melawan pendidikan konvensional. Menurut Jay, pendidikan yang menekankan pada kekayaaan individu dan memfokuskan pada manusia, berlawanan dengan sistem pendidikan umum yang berlaku saat ini. Pendidikan yang ia tawarkan, kata Jay, tidak seperti yang didesaian “para ahli pendidikan” yang semata dilakukan untuk meningkatkan pendapatan nasional.
The Well menararkan pendidikan yang berfokus pada pengembangan induvidu, bukan pada apa yang harus diketahui oleh individu sesuai “para ahli pendidikan” yang dilakukan semata demi peningkatan pendapatan nasional.
Pendidikan yang mempromosikan pengembangan individu akan menghargai ekspresi dan kemerdekaan individu. Pendidikan semacam ini akan melawan konformitas. “Orang-orang datang ke sekolah The Well untuk berbagi kehidupan dan pengetahuan. Kami memilih pendidikan inklusif, yang dipergunakan untuk mendesain prinsip menyatukan manusia sebagai dasar sekolah kami. The Well bukan sekadar sekolah tetapi juga menjadi komunitas,” tulis Jay.
Sejak tahun-tahun awal The Well, sekolah berkembang seperti sebuah keluarga besar. Anak-anak sering menghabiskan waktu di halaman sekolah untuk membuat api unggun dan tidur dengan kantong tidur. The Well menerima siswa dengan terbuka, dengan keberagaman bakat dan keinginan. Mereka tidak hanya memberikan pengakuan pada anak-anak yang dianggap pandai. Tes tidak menjadi bagian penting dalam aktivitas pendidikan mereka.
“Kami ingin memberi pengakuan kepada anak-anak yang mau mengambil risiko, mereka yang mau berbagi dengam komunitas, dan mereka yang mau berbicara kebenaran. Kami ingin anak-anak yang membawa kegembiraan dalam dunia mini kami, mereka yang mencari kebenaran, mereka yang mencintai kehidupan, dan mereka yang menyukai binatang maupun tanaman,” kata Jay.
Buku ini dapat menjadi sumber inspirasi bagi mereka yang bergerak dalam bidang pendidikan, khususnya para penyelenggara sekolah alternatif. Pendidikan alternatif tidak seharusnya berhenti pada kegiatan karitatif menyediakan akses pendidikan kepada anak-anak dari keluarga tidak mampu. Pendidikan alternatif harus berani membongkar sistem persekolahan konvensional. (wis)


Read more...

Profile “Sekolah Tanpa Batas”

Sekolah Tanpa Batas – School Without Borders – Sekolah Tanpa Batas didirikan oleh para aktivis pendidikan yang mewakili unsu-unsur penyelenggara sekolah alternatif, pemuda, media, dan serikat-serikat guru pada 02 Februari 2009. Sekolah Tanpa Batas pada dasarnya merupakan sebuah gerakan untuk mendukung keberadaan sekolah alternatif dan pengembangan profesi guru. Untuk mensistematisikan gerakan dibentuklah Perkumpulan Sekolah Tanpa Batas yang berkedudukan di Jakara berdasarkan Akte Pendirian yang dikeluarkan oleh Notaris Raden Yudi Anton Rikmadani, SH. No. 05 Tanggal 19 Februari 2009.
Sekolah Tanpa Batas bersifat terbuka dan independen. Organisasi ini didirikan dengan tujuan: a) mengembangkan pendidikan berkualitas yang dapat diakses oleh semua warga negara Indonesia; b) membangun dan mengembangkan sistem pendukung bagi pengembangan pendidikan alternatif dan pengembangan profesi guru.
Sekolah Tanpa Batas memilih mengambil peran sebagai sistem pendukung (supporting system) untuk pengembangan pendidikan kritis dan kreatif. Dengan bekerjasama dengan sekolah-sekolah alternatif, serikat guru dan berbagai institusi lainnya, Sekolah Tanpa Batas menyelenggarakan berbagai kegiatan untuk:
• Memfasilitasi pengembangan model pendidikan yang berkualitas;
• Melakukan sosialisasi dan inisiatif-inisiatif lainnya yang diperlukan untuk pemenuhan hak warga negara dalam bidang pendidikan;
• Melakukan advokasi kebijakan public untuk menjamin akses pendidikan yang kerkualitas bagi semua warga negara.

Visi dan Misi
Visi:
“Terciptanya masyarakat yang adil melalui pendidikan sebagai Gerakan Kebudayaan”
Misi:
“Mengembangkan sistem pendukung penyelenggaraan pendidikan yang kritis dan kreatif”



Lingkup Kerja
Sebagai sistem pendukung pendidikan alternatif, Sekolah Tanpa Batas mengambil lingkup kerja sebagai berikut:
1. Melakukan upaya-upaya pengembangan pendidikan berkualitas melalui;
• Pendampingan
• Sosialisasi
• Pembentukan jaringan, dan
• Advokasi.

2. Melakukan pelatihan-pelatihan pendidikan kritis dan kreatif terutama untuk;
• Guru
• Aktifis sosial
• Relawan
• Orang tua murid, dan
• Warga negara pada umumnya.

3. Menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk pengembangan pendidikan kritis dan kreatif melalui;
• Diskusi
• Seminar
• Workshop, dan
• Kajian-kajian lainnya.

Pengurus Perkumpulan
• Dewan Pengawas:
 Sri Wahyaningsih (Ketua)
 Johanes Danang Widoyoko (Anggota)
 Susilo Adinegoro (Anggota)

• Dewan Eksekutif:
 Bambang Wisudo (Direktur Eksekutif)
 Wandy Nicodemus Tuturoong (Direktur Program)
 Jimmy PH Paat (Direktur Penelitian dan Pengembangan)
 Mohamad Syafi’ Alielha (Direktur Media dan Informasi)
 Ah Maftuchan (Sekretaris)
 Ade Irawan (Bendahara)
 Lodewijk F Paat (Anggota)
 Ibe Karyanto (Anggota)
 Solahudin (Anggota)
 Kokon Koswara (Anggota)

• Kontak
Sekretariat I:
Kantor Fresh Book
Gedung Pahala Kencana Rear Building, Lt. 2
Jl. Matraman Raya No 66 Matraman Jakarta Timur
13150.

Sekretariat II:
Kantor ICW
Jl. Tebet Timur IV No 4-D Pasar Minggu
Fax/Telepon:

Email: sekolahtanpabatas@yahoo.com

Read more...

e-encyclopedia

e-encyclopedia
DK Publishing, Inc, New York 2003


Teknologi informasi bukanlah dewa yang bisa memecahkan semua persoalan pendidikan. Ketersediaan akses internet dan kemajuan multi media, misalnya, tidak otomatis meningkatkan kualitas pendidikan bila para penggunanya tidak paham bagaimana menggunakan teknologi informasi untuk pendidikan. Buku ensiklopedi anak-anak E-Encyclopedia yang diterbitkan DK ini akan sangat membantu baik guru, orangtua murid, maupun anak menggunakan internet untuk belajar.
E-Encyclopedia berbeda dengan buku ensiklopedia ataupun ensiklopedi online yang konvensional. Kelebihan buku ini adalah gagasan untuk mengintegrasikan buku cetak atau buku elektronik dengan internet. DK merupakan penerbit yang memiliki reputasi internasional dalam penerbitan ensiklopedi. Sama seperti ensiklopedi anak-anak yang diterbitkan DK lainnya, buku ini dipenuhi gambar-gambar menarik disertai fakta mendasar tentang topik-topik yang dibahas. Keunggulan dari buku ini, selain bisa mendapatkan informasi dasar tentang topik yang dibahas, anak juga bisa mencari informasi yang berlimpah-limpah melalui internet. Pada setiap topik yang dibahas, anak bisa menemukan kata kunci yang bisa dipergunakan untuk menjelajah lebih jauh di dunia maya.
Caranya sangat mudah. Untuk keperluan ini, DK dan google bekerja sama membangun web http://www.dke.encyc.com. Bila anak tertarik untuk mencari informasi lebih lanjut, ia tinggal masuk ke situs tersebut dan memasukkan kata kunci yang ditemukan pada halaman topik yang ia baca. Di sana anak langsung terkoneksi dengan situs-situs, sebagian di antaranya adalah situs yang didesain khusus untuk anak-anak. Koneksi tersebut biasanya terdiri dari animasi, video, kuis interaktif, perkembangan menurut waktu, dan penjalajahan virtual. Anak bisa men-download gambar-gambar yang disediakan.
Ensiklopedi ini terdiri dari 446 topik bahasan. Ada delapan tema utama yang dibahas dalam ensiklopedi ini, yakni angkasa luar, bumi, alam, tubuh manusia, sains dan teknologi, manusia dan tempat, masyarakat dan kepercayaan, seni dan pertunjukan, serta sejarah. Setiap topik dibahas dalam satu halaman, dilengkapi dengan gambar-gambar yang sangat menarik.
Ensiklopedi ini bisa dipergunakan untuk belajar apa saja: bahasa Inggris, Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial, ataupun berkomunikasi. Buku ini sekaligus mengajarkan kita bahwa anak bisa belajar tanpa terkotak-kotak secara rigid dalam mata pelajaran. Buku ini juga memungkinkan orangtua atau guru mengajak anak belajar bertolak dari hal yang paling diminati anak. Bila dipergunakan untuk keperluan kelas atau kelompok belajar, bisa ditentukan berdasarkan keinginan bagian terbesar anak. Edisi elektronik buku ini jauh lebih menarik daripada edisi cetaknya. Edisi elektronik bisa ditembakkan melalui proyektor atau dihubungkan ke telivisi sehingga memungkinan anak membaca bersama-sama atau bergantian.
Sayangnya memang buku dan situs-situsnya berbahasa Inggris. Karena itu buku ini baru bisa dipergunakan untuk anak yang mulai paham membaca teks dalam bahasa Inggris. Bila anak sudah diajari mengenal teks berbahasa Inggris sejak awal, buku ini sudah bisa dipergunakan untuk kelas empat SD ke atas. Guru atau pendamping bisa membantu membimbing anak memahami bacaan.
Setelah membaca teks, guru atau orangtua bisa meminta anak mempresentasikan apa yang telah dibaca atau dipelajarinya. Untuk anak-anak kelas awal, presentasi bisa dilakukan sekedar dengan menceritakan kembali topik yang dibahas. Akan tetapi untuk tingkat SMP, anak bisa diminta melakukan presentasi dengan alat peraga atau powerpoint.
Buku ini sangat menarik untuk dipergunakan di kelas ataupun untuk anak-anak yang belajar sendiri di rumah.

Read more...

Sururon Membangun SMK Alternatif

Setahun lalu, melanjutkan sekolah masih menjadi angan-angan bagi Sarif dan kawan-kawannya. Tiga tahun sudah Sarif tinggal dan bersekolah di Madrasah Tsanawiyah Sururon, sekolah alternatif komunitas petani di Desa Sarimukti, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Setelah lulus SMP, ia pun tidak tahu ke mana harus melanjutkan sekolah. Untuk bersekolah di SMP pun ia tidak punya biaya, apalagi untuk berselolah di SMA. Masalah itu pula yang dihadapi kawan-kawannya yang baru lulus dari Tsanawiyah Sururon.
Mengapa tidak membuat saja sekolah sendiri? Gagasan itu muncul saat Sarif dan kawan-kawannya berkumpul di perpustakaan sekolah. Perpustakaan itu tidak lain adalah bangunan berdinding bambu yang sekaligus dipergunakan sebagai ruang guru, ruang komputer, dan “laboratorium”, dan tempat tinggal guru. Bangunan itu berdiri di atas kolam ikan yang menjadi salah satu sumber penghasilan sekolah.
Ide itu pun disampaikan pada guru-guru Sururon. Gayung pun bersambut. Bermodalkan semangat sekolah itu terwujud. Karena tidak ada ruangan yang tersisa, mereka meminjam ruangan dari madrasah lain yang ada di desa itu. Aparat desa pun kemudian terlibat. Melalui pertemuan warga, Kepala Desa Sarimukti Yayan Supriyatna setuju meminjamkan tanah bekas gedung olahraga yang telah roboh untuk sekolah. Bukan itu saja, desa juga meminjamkan tanah seluas satu hektar sebagai lahan untuk anak-anak bertani.
“SMA tidak cocok. SMK Pertanian lebih cocok dengan kebutuhan dan lingkungan di sini,” kata Sarif.
Jadilah SMK Alternatif Sururon.
Menurut Sarif, tidak semua anak setuju dengan ide mendirikan SMK itu. Beberapa di antaranya memilih berhenti bersekolah. Mereka kemudian bekerja menjadi buruh tani, tukang bakso, atau pedagang keliling. Sarif mantap dengan pilihannya: melanjutkan sekolah.
“Kalau ilmu sudah di otak, uang tidak akan kemana-mana,” kata Sarif.
Bahan bangunan diperloleh dengan membongkar bangunan tempat pembibitan jamur milik seorang warga yang tidak terpakai. Di sela-sela bersekolah dan bertani, Sarif bersama sejumlah kawannya membantu bekerja mendirikan bangunan sekolah semi permanen berdinding bambu. Bangunan itu sampai sekarang masih dikerjakan.
Berbeda dengan SMK konvensional, sebagian besar waktu belajar siswa SMK Alternatif Sururon dihabiskan di lapangan. Guru yang mengajar adalah juga guru-guru Madrasah Tsanawiyah Sururon. Mayoritas pengajar direkrut dari warga setempat. Ada yang hanya lulusan SD, ada lulusan SMP. Hanya ada seorang sarjana. Siswa tidak hanya belajar dari buku tetapi juga dari masyarakat. Sebelum bertanam, anak-anak itu melakukan wawancara untuk menggali pengalaman petani yang berhasil dalam bertanam.
“Kami ingin sekolah ini jadi kebanggan desa,” kata Ridwan Saefudin alias Ince, mantan rocker yang memilih menghabiskan hidupnya menjadi guru Sururon tanpa gaji ataupun honor tetap.

Sururon merupakan salah satu sekolah alternatif yang membuktikan diri bisa eksis. Sekolah alternatif Sururon berdiri enam tahun lalu. Sekolah itu dirikan bersama oleh para aktivis Serikat Petani Pasundan (SPP), petani anggota serikat di Sarimukti, bersama pengasuh pondok pesantren Sururon. Tahun pertama, Madrasah Tsanawiyah Sururon meminjam ruangan pondok pesantren. Mereka kemudian mendirikan bangunan kayu dilapisi dinding bambu di atas kolam ikan. Madrasah Tsanawiyah Sururon sekarang telah memiliki tiga bangunan. Semuanya berdinding bambu, berlantai kayu, dan berdiri di atas kolam.
Kini Sururon memiliki sekitar 200 murid, 45 di antaranya murid SMK Alternatif Sururon. Dua tahun lalu, pemerintah mendirikan SMP Negeri Pasir Wangi yang hanya berjarak beberapa kilometer dari desa Sarimukti. Sururon tetap eksis.
Meski mengadopsi kurikulum nasional, Madrasah Sururon tidak mengikuti pakem yang ditentukan birokrasi pendidikan. Banyak gurunya tidak memenuhi kualifikasi yang ditetapkan pemerintah. Murid belajar dengan lesehan dengan menggunakan meja kayu setinggi 30 sentimeter. Dengan gaya seperti itu Sururon bisa meluluskan siswanya melewati Ujian Nasional. Mereka lulus tanpa katrol-mengatrol. Bahkan dalam tiap penyelenggaraan UN, Sururon seolah mendapat perlakuan khusus. Ujian dijaga polisi bersenjata lengkap.
Enam anak lulusan pertama Madrasah Sururon melanjutkan ke Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA) Garut. Mereka tidak hanya bisa berkompetisi dengan lulusan dari sekolah lainnya tetapi malah termasuk kelompok anak-anak yang berprestasi. Enam anak itu mengikuti Ujian Nasional tahun ini. Bila tidak ke perguruan tinggi, mereka akan kembali ke Sarimukti untuk ikut mengajar di Sururon.
Meski telah membuktikan eksistensinya, Sururon masih bergulat dengan keterbatasan. Semua gurunya bekerja secara sukarela. Tidak ada yang memperoleh gaji atau honor tetap. Biaya operasional sekolah mencapai Rp 10 juta per bulan, sebagian diperoleh dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Sekolah terus mencoba bertahan dengan membuat kolam ikan, beternak domba, dan menggarap lahan pertanian.
“Kami masih harus berpikir keras untuk memberikan kesejahteraan kepada guru,” kata Ridwan. (wis)

Read more...

Guru, Korban atau Pelaku Korupsi?

Guru, Korban atau Pelaku Korupsi?

Ade Irawan, Kepala Divisi Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch / Sekretaris Koalisi Pendidikan


Pendahuluan

Korupsi menjadi penyakit akut yang terus menggerogoti Indonesia. Menyebar ke semua sektor mulai sekolah, departemen, hingga Badan Usaha Milik Negara. Modal material maupun immaterial hancur atau hilang. Dalam catatan Indonesia Corruption Watch, sepanjang tahun 2006, paling tidak negara dirugikan sebesar Rp. 14,6 triliun akibat praktek korupsi.

Pendidikan merupakan salah satu sektor tempat korupsi tumbuh subur. Praktek tercela tersebut terjadi di semua tingkatan, mulai dari Departemen Pendidikan hingga sekolah. Modus, objek korupsi, serta kerugian material yang disebabkannya pun berbeda-beda, tergantung pada posisi pelaku berada. Semakin tinggi level/posisi, semakin canggih modus yang dipakai dan semakin besar kerugian material yang mesti ditanggung oleh negara.

Menurut Jacques Hallack dan Muriel Poisson (2007) korupsi di sektor pendidikan merupakan penggunaan secara sistematis fasilitas publik untuk kepentingan pribadi yang mempengaruhi ketersediaan dan kualitas barang-barang dan pelayanan, serta berdampak pada kemudahan akses, kualitas dan keadilan dalam sektor pendidikan. Bentuknya beragam, mulai dari kolusi, suap, penggelapan, mark up ataupun mark down.

Ada beberapa sebab yang membuat korupsi berkembang di sektor pendidikan. Pertama, sebagai salah satu dari sedikit lembaga pemerintah yang memiliki cakupan yang luas bahkan hingga tingkat komunitas, pendidikan secara struktur sangat menarik jadikan alat untuk melakukan patronase dan manipulasi sentimen lokal.

Kedua, kebijakan pendidikan yang berdampak penting bagi kehidupan masyarakat dibuat oleh ‘penjaga gawang’ yang mengontrol tiap-tiap keputusan pada masing-masing tingkatan. Ketiga, anggaran pendidikan yang besar dibelanjakan untuk membiayai berbagai kegiatan kecil-kecil yang menyebar di berbagai tempat yang umumnya lemah dalam pembukuan dan sistem kontrol.

Korupsi berdampak sangat buruk bagi sektor pendidikan. Sebagai contoh dalam proses penerimaan murid baru, permintaan beragam biaya illegal sebagai syarat agar dapat masuk sekolah telah menurunkan angka partisipasi dan meningkatkan angka drop out. Contoh lain adalah suap dalam proses rekruitmen dan promosi guru yang menyebabkan banyaknya guru di sekolah yang berkualitas rendah. Beberapa contoh tersebut banyak terjadi di negara berkembang seperti Indonesia.

Mengutip pendapat Syed Husen Alatas, korupsi pendidikan Indonesia telah memasuki stadium tiga. Korupsi membinasakan diri sendiri dan merangsang perkembangan lebih lanjut untuk korupsi. Sebagai contoh kasus pengadaan buku ajar di beberapa kabupaten di Jawa Tengah . Eksekutif dan legislatif, termasuk aparat hukum bahu membahu membobol anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) untuk memuluskan penunjukan langsung pengadaan buku dari penerbit tertentu.


Guru dan Korupsi

Selama ini, guru dituding sebagai aktor utama korupsi. Setidaknya hal tersebut dilontarkan umumnya orang tua murid . Beragam biaya yang dibebankan sekolah ditenggarai akan berujung pada kantong korps bersenjata kapur ini. Tudingan itu tidak sepenuhnya ditampik. Syukur Budiarjo mengakui bahwa guru turut andil dalam praktek korupsi.

Menurut Syukur, sebagai warga bangsa yang bertugas mencetak manusia Indonesia masa depan, seharusnya guru mengambil peran penting tersebut dengan cara mencegah menularnya virus korupsi yang telah menggerogoti fondasi dan pilar "rumah" Indonesia. Akan tetapi, guru sebagai instrumen penting pendidikan, apakah mampu mencetak pemimpin yang antikorupsi jika malah menjadi contoh buruk bagi siswa dengan melakukan korupsi. Sebab, guru yang sudah terbiasa berperilaku layaknya penguasa di sekolah, juga tidak dapat menghindar dari tindakan korupsi, bahkan ikut terhanyut ke dalam arus pusaran korupsi.

Selain itu, Hallack mengkategorikan beberapa bentuk praktek korupsi yang berkaitan dengan guru. Pertama, pengangkatan, mutasi, serta promosi guru. Kedua, sistem penggajian; Ketiga, kehadiran guru di sekolah; Keempat, manajemen keuangan sekolah; Kelima, hubungan antara guru dengan peserta didik.

Berkaitan dengan ketidakhadiran di sekolah, Hallack mengkategorikan sebagai bentuk praktek korupsi. Sebab, gaji guru umumnya bersumber dari anggaran negara sehingga ketika guru tidak menjalankan kewajiban, secara tidak langsung negara dirugikan. Indonesia merupakan salah satu negara yang berperingkat tinggi negara-negara yang gurunya kerap absen.

Tabel 1. Rata-Rata Ketidakhadiran Guru dan Implikasi Biaya
No Negara
Rata-Rata Ketidakhadiran Guru Pada Tingkat Dasar (%) Kebocoran Anggaran (Perkiraan Dalam %**)
1 Ekuador (2002) 16 14,4
2 Honduras (2000) 14 12,6
3 India (2002) 25 22,5
4 Indonesia (2002) 18 16,2
5 Papua New Guinea (2001) 15 13,5
6 Peru (2002) 13 11,7
7 Uganda (2002) 26 23,4
8 Zambia (2002) 17 16,3
*dihitung berdasarkan pada asumsi bahwa 90 persen dari budget diberikan untuk gaji guru


Akan tetapi apabila dilihat secara parsial, walaupun benar, pandangan guru merupakan aktor utama korupsi dapat menyesatkan. Sebab, korupsi yang dipraktekan oleh guru tidak berdiri sendiri, tapi dipengaruhi oleh faktor-faktor lain. Guru memang melakukan korupsi, namun mereka pun korban korupsi atasannya, baik secara langsung maupun tidak.

Hal tersebut didukung oleh hasil kajian yang telah dibuat ICW . Mengacu pendapat George Junus Aditjondro mengenai lapisan korupsi, dalam pendidikan setidaknya ada empat lapis korupsi yang saling berkaitan. Korupsi yang dilakukan guru misalnya yang lebih didorong karena kecilnya gaji, berbeda dengan yang dilakukan oleh kepala sekolah atau pejabat dinas yang umumnya bergaji lebih baik.

Tabel 2. Lapisan Korupsi Pendidikan
Lapisan Korupsi Pelaku Modus

Korupsi Lapis Pertama Umumnya guru Menggunakan kewenangannya untuk menarik dana dari siswa. Contoh, memberi nilai kecil saat ujian dan mengadakan ujian ulangan karena siswa yang mengikuti ujian ulang mesti membayar.
Korupsi Lapis Kedua Kepala sekolah sering dibentu komite sekolah dan dinas pendidikan Ada tiga modus; Pertama, penggelapan, tidak merealisasikan dana yang diambil dari orang tua siswa maupun pemerintah; kedua, anggaran ganda, meminta ulang dana pada orang tua siswa untuk kegiatan yang sudah dibiayai pemerintah; ketiga, anggaran tidak ada korelasi dengan kegiatan belajar mengajar, misalnya biaya koordinasi dengan dinas pendidikan
Korupsi Lapis Ketiga Dinas pendidikan Mentender suap proyek-proyek yang diperuntukan bagi sekolah.
Korupsi Lapis Keempat Depdiknas Mentender suap proyek-proyek yang diperuntukan bagi daerah/dinas. Pengerjaan proyek tanpa tender dan dikerjakan perusahaan pejabat Depdiknas.

Masalahnya, bagian mana yang menjadi hulu masalah. Setidaknya ada tiga kondisi yang bisa menjelaskan. Pertama, kenyataan bahwa pendapatan yang diterima guru tidak lebih besar dibanding pengeluaran untuk mendukung proses belajar mengajar. Sebagai contoh, sewaktu mengajar di salah satu sekolah menengah pertama (SMP) swasta di Jakarta, biaya yang dikeluarkan penulis setiap kali datang dan membuat persiapan mengajar mencapai Rp. 45.000, belum termasuk makan. Sedangkan bayaran mengajar dihitung Rp. 10.000/jam. Karena mengajar dalam seminggu hanya enam jam, maka total pendapatan yang diterima sebanyak Rp. 60.000, yang diterima setiap bulan.

Jika dihitung datang ke sekolah seminggu sekali, total pengeluaran dalam satu bulan mencapai Rp. 180.000 (4 minggu dikali Rp.45.000), padahal gaji hanya Rp. 60.000. Jadi setiap bulan defisit Rp. 120.000. Alternatif menutup defisit dan kebutuhan hidup; mencari dana ekstra dari siswa atau ngobyek ditempat lain, bisa di sekolah, bisa juga di pangkalan ojek.

Ketika guru menjual nilai atau meminta uang kepada murid untuk membayar les tambahan, hal tersebut merupakan perbuatan korup. Akan tetapi hal tersebut dapat ditoleransi karena menjadi cara bagi guru untuk survive. Korupsi yang dilakukan oleh guru merupakan respon atas kondisi sulit yang dihadapi oleh mereka.

Pemberian kesejahteraan yang minim menurut Darmaningtyas merupakan kesengajaan penguasa dengan tujuan untuk memarginalkan guru sehingga kehilangan posisi tawar. Guru yang telah kehilangan posisi tawar tidak memiliki keberanian untuk melawan, karena keberanian untuk melawan diidentikan dengan hilangnya sumber pendapatan.

Ada dua faktor penyebab munculnya praktek korupsi. Faktor pertama karena kebutuhan (corruption by need). Korupsi dilakukan karena gaji yang diterima tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup. Faktor kedua karena keserakahan (corruption by greed). Korupsi yang dilakukan oleh guru termasuk yang pertama.

Kedua, guru bukan penentu kebijakan di sekolah. Mereka umumnya diposisikan hanya sebagai pengajar yang bertugas ‘mentransfer’ pengetahuan kepada murid, sedangkan dalam penentuan kebijakan akademis apalagi finansial seringkali diabaikan. Padahal menurut penelitian Bank Dunia kebebasan guru untuk memilih metoda, buku, serta waktu untuk mengerjakan tugas merupakan faktor vital dalam peningkatan mutu belajar mengajar.

Hasil penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW) pada beberapa kota di Indonesia, secara umum menunjukan guru tidak mengetahui kebijakan apa saja yang digulirkan sekolah. Bahkan banyak yang mengaku belum pernah melihat seperti apa bentuk anggaran pendapatan dan belanja sekolah (APBS) di sekolahnya.

Padahal keuangan sekolah baik bersumber dari pemerintah, orang tua murid, maupun pihak lain, dicantumkan dalam APBS. Karenanya agar bisa korupsi, terlebih dahulu mesti mengetahui APBS. Dengan demikian guru yang umumnya tidak ikut merecanakan dan mengelola keuangan, kecil kemungkinan menjadi aktor dibalik maraknya korupsi di sekolah.

Ketiga, guru merupakan ’mata rantai’ terlemah diantara penyelenggara pendidikan lain. Karenanya selalu menjadi korban ’mata rantai’ yang lebih kuat seperti kepala sekolah atau pejabat dinas pendidikan. Selain korban ’obyekan’ atasan, porsi anggaran atau pendapatan yang didapat pun biasanya kecil. Penelitian ICW pada APBS beberapa sekolah di Jakarta dan Tangerang memperlihatkan alokasi anggaran untuk guru tidak mencapai setengahnya porsi untuk kepala sekolah.


Penutup
Walaupun tidak termasuk kleptocracy dan dampak materialnya tidak seberapa, akan tetapi dalam jangka panjang korupsi yang dipraktekan guru akan merusak modal sosial. Secara motorik, murid diajar untuk melakukan korupsi dan biasanya pelajaran yang paling diingat bukan dari hasil ceramah di ruang kelas, tapi yang dipraktekan dalam keseharian guru atau kepala sekolah.

Namun, apa yang dilakukan guru tidak dapat dilepaskan dari kebijakan pendidikan secara umum. Posisi guru bukan sebagai pembuat kebijakan, tapi korban kebijakan. Korupsi yang mereka lakukan merupakan ’akibat’ kebijakan birokrasi yang memarginalkan secara ekonomi maupun politik.

Guru didorong hanya berkutat di ruang kelas. Mereka dituntut menjadi profesional, yang ditandai dengan kemampuan memahami materi kurikulum yang dipatok pemerintah, menguasai teknologi pendidikan. Banyak janji yang diberikan pemerintah bagi guru yang profesional, akan tetapi banyak pula yang diingkari. Bahkan sikap pemerintah justru mendorong upaya deskilling dan deprofesional.

Tidak ada jalan lain bagi guru selain ikut melawan korupsi di sektor pendidikan. Banyak cara dan alat yang dapat digunakan. Akan tetapi, guru bisa memulai dengan menuntut kesejahteraan yang menjadi hak mereka. Program sertifikasi guru yang kini tengah digulirkan pemerintah bisa dijadikan sebagai pintu masuk.

Read more...

School of Rock: Guru tak Bersertifikat

Apa jadinya bila seorang Rocker yang nyaris putus asa, tanpa memiliki sertifikat maupun kompetensi mengajar, menjadi guru SD di sekolah elite?
School of Rock adalah kisah zero to hero. Kisah ini diawali ketika Dewey Finn (Black Jack), gitaris yang menjadi pengangguran setelah dikeluarkan dari grup band rock-nya. Terdesak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, Dewey nekad menerima tawaran menjadi guru SD di sekolah bergengsi Horace Green. Posisi itu didapatkannya karena ia mengaku sebagai Ned Schneebly, seorang guru yang juga teman sekamarnya.
Pada awalnya Dewey merasa bingung harus mengajarkan apa dan bagaimana mengajar di kelas. Di hadapan para muridnya, Dewey mencoba melewati waktu dengan cara mengajar sesuka hati. Dihadapkan dengan tradisi kelas yang sangat formal dan pertanyaan kritis dan lugu murid-muridnya, Dewey benar-benar mati gaya.
Dewey akhirnya mendapatkan gagasan cemerlang dengan membentuk sebuah band Rock bersama murid-muridnya. Ia membuat projek band rock sebagai tugas sekolah untuk mengikuti festival musik Rock “Battle of The Bands”. Dewey menjalankan rencana aksinya dengan mengatur posisi sesuai minat dan bakat anak. Rencana itu tidak semudah yang ia bayangkan. Ia harus merayu para muridnya untuk mau mengikuti keinginannya tersebut, kemudian menekankan kepada para murid untuk bebas berekspresi sebagai seorang rocker sejati, meyakinkan murid bahwa Rock dapat melatih kecerdasan sekaligus menggugurkan tradisi pemberian peringkat dalam sekolah formal yang sudah terlanjur melekat pada anak didik.
Beberapa siswa yang tidak punya bakat musik juga mesti mendapat tempat dalam projek ini. Dewey akhirnya berhasil membentuk kerjasama di antara murid-muridnya sesuai peran masing-masing. Ia pun terlibat langsung dalam projek ini. Interaksi berlangsung dalam suasana yang dinamis dan demokratis. Tidak ada jarak antara guru dan murid. Dari eksperimen ini, Dewey juga memperkenalkan kepada murid-muridnya sejarah musik rock dengan memperkenalkan grup dan tokoh band legendaris seperti Led Zeppelin, Jimi Hendrix, dan Black Sabath. Akhirnya terciptalah sebuah band yang mendapat usulan nama “School of Rock” dari para murid.
School of Rock berhasil memenangkan hati penonton, orang tua murid dan kepala sekolah dalam festival Battle of The Bands, walaupun para juri memilih salah satu Band pesaing yang merupakan rocker dewasa sebagai pemenang.
Film ini bernuansa komedi musikal tetapi sarat dengan pesan pendidikan. School of Rock merupakan kritik terhadap pendidikan yang formal dan serba kaku. Ia menertawakan pendidikan elitis yang hanya mengedepankan intelejensi tetapi menghilangkan kebebasan kreasi dan mengekang anak. Di tengah program pemerintah yang saat ini gencar melakukan sertifikasi guru, menghargai guru dengan formalitas akademik, ijazah, atau tata cara formal mengajar, film ini mengingatkan kita bahwa siapapun bisa menjadi guru. Pendidikan hanya akan berhasil ketika murid asyik dengan apa yang dipelajarinya.

Read more...

ACCEPTED: Sekolah Bagi Mereka yang Terbuang

Pendidikan sekolah dari SD sampai SMA seolah didesain untuk mempersiapkan anak melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Belajar di perguruan tinggi kemudian menjadi sebuah keharusan. Tidak melanjutkan ke perguruan tinggi seolah merupakan aib, tidak hanya bagi anak tetapi juga bagi orangtua.
Accepted, film komedi yang disutradarai oleh Steve Pink, merupakan kritik terhadap perguruan tinggi dan sistem pendidikan yang mengabaikan hak anak-anak yang dianggap kurang “pintar”.
Film ini mengambil latar pendidikan di Amerika Serikat. Setelah lulus SMA, Bartleby Gaines (Justin Long) menghadapi kenyataan pahit tidak diterima di satupun universitas yang ia lamar. Ia berusaha meyakinkan ayahnya bahwa ia dapat menjadi orang tanpa harus menjadi sarjana. Akan tetapi kedua orangtuanya berpendapat lain. Ia harus meneruskan ke perguruan tinggi.
Karena tidak ingin mengecewakan orangtuanya, ia iseng-iseng membuat surat panggilan yang menyatakan ia diterima masuk di sebuah perguruan tinggi. Ia menamai universitas itu South Harmon Institute of Technology yang disingkat dengan nama SHIT. Untuk meyakinkan orangtuanya, ia meminta seorang temannya membuatkan website universitas gadungan yang ia karang berafilisasi dengan perguruan tinggi elite di Ohio, Harmon College. Sekalipun sempat ragu akan keberadaan universitas itu, ayah Gaines memberikan chek kepada anaknya untuk biaya kuliah selama satu semester. Bersama beberapa kawannya, ia menyewa sebuah bangunan rumah sakit jiwa sebagai kampus. Tanpa diduga, universitas tipu-tipuan itu didatangi puluhan anak muda yang ingin menjadi mahasiswa. Mereka adalah anak-anak muda yang kehilangan identitas hanya karena tidak berstatus sebagai mahasiswa.
Gaines sempat hendak mengurungkan menjalankan tipu dayanya. Akan tetapi karena universitas gadungan itu menjadi satu-satunya harapan puluhan anak-anak sebayanya yang ditolak di mana-mana, ia mengurungkan niatnya. Universitas itupun berjalan liar. Dari suasana yang serba chaos muncullah sebuah pertanyaan yang menjadi senjata ampuh untuk memulai sebuah proses pendidikan. Apa yang ingin kamu pelajari? Pertanyaan ini rupa-rupanya mengejutkan bagi hampir semua mahasiswa. Rupa-rupaya selama ini sekolah tidak pernah menanyakan keinginan anak.
Bertolak dari pertanyaan itulah mereka belajar sesuai keinginan masing-masing. Murid adalah guru. Guru adalah murid. Semua boleh belajar sesuai kehendak masing-masing. Kurikulum hanyalah sebuah papan tulis yang diisi oleh mahasiswa tentang apa yang ingin dipelajari. Ada yang ingin menjadi juru masak, ada yang ingin menjadi rocker, menjadi gadis model, dan lain-lainnya. Akan tetapi ketika komunitas belajar itu mulai berjalan baik, ketika semua peserta didik bebas mengekspresikan kreativitasnya, kedok universitas gadungan itupun terbongkar. Universitas itu ditinggalkan oleh mahasiswanya pada saat orangtua mahasiswa mengunjungi kampus tersebut.
Di tengah frustrasi, Gaines mendatangi kampus yang telah ditinggalkan mahasiswa. Di antara setumpukan surat, ia menemukan sebuah surat panggilan untuk menghadiri sidang akreditasi dari Badan Akreditasi Ohio State. Gaines bersemangat lagi dan meminta dukungan kawan-kawan dekatnya untuk menghadapi sidang itu.

Read more...

e-education

e-education
British Council – Learn English
http://www.britishcouncil.org/learnenglish.htm

Portal ini menyediakan sejumlah link yang disediakan oleh British Council untuk belajar bahasa Inggris. Portal ini bisa dimanfaatkan dari anak-anak pra-sekolah ataupun orang dewasa untuk belajar bahasa Inggris. Situs ini juga memanfaatkan secara maksimal keunggulan multimedia. Situs ini menawarkan tiga kategori, yakni kategori untuk orang dewasa, anak-anak, dan profesional.
Kategori untuk dewasa diperuntukkan bagi remaja dan orang dewasa. Kita bisa belajar berdasarkan tema yang kita minati, seperti olahraga, kebudayaan, sains, ataupun topik-topik umum. Kita bisa menemukan sejumlah sinopsis cerita, dilengkapi dengan daftar pertanyaan, suara, maupun aktivitas untuk belajar menulis.
Untuk kategori anak-anak, portal ini menyediakan sangat banyak bahan dalam format multimedia yang sangat menarik. Di sini kita bisa menemukan cerita, lagu, maupun permainan anak dalam berbagai level bahasa Inggris. Situs ini dilengkapi pula tips untuk orangtua murid maupun guru yang mendampingi anak belajar.Cerita-cerita disajikan dengan gambar-gambar yang dinamis dan penuh warna sehingga dipastikan akan menarik buat anak-anak.
Sedangkan kategori profesional menawarkan materi belajar bahasa Inggris buat jurnalis, tenaga medis,insinyur, pekerja sektor keuangan, maupun turisme. Sayangnya belum banyak materi yang tersedia untuk kategori ini.
Portal ini bisa dipergunakan untuk mereka yang ingin belajar mandiri, anak-anak yang belajar di rumah, maupun untuk keperluan pengajaran di kelas.
Sayangnya materi multimedia tidak bisa diunduh

Read more...

Totto-chan: Sekolah Impian Anak

Totto-chan, gadis kecil yang nakal. Begitu kaya fantasi, sok tahu dan selalu ingin tahu. Gaya bicaranya ceplas-ceplos. Dia gemar merapat ditepi jendela-- tatkala pelajaran dimulai, hingga bu guru nyaris putus asa menegurnya. Akhirnya, Totto-chan dikeluarkan dari sekolah! Tak putus-asa, sang ibu mendaftarkan Totto-chan ke sekolah gerbong bernama Tomoe Gakuen. Sekolah baru yang menempati gerbong kereta api itu dikepalai oleh Pak Kobayashi. Seorang guru yang baik, sabar dan penyayang.
Di sekolah baru tak ada aturan ketat. Totto-chan begitu girang, bisa leluasa melihat musisi jalanan, juga membayangkan naik kereta api saat liburan. “Wah asyiknya!” Totto-chan amat ‘istimewa’ dimata Pak Kobayashi. “Kamu anak yang baik!” pujinya. Bukan main senangnya hati Totto-chan. Diapun betah bersekolah di Tomoe Gakuen. Sebab, para murid boleh mengubah urutan pelajaran sesuai minat, mulai matematika atau menggambar atau fisika. Terserah pokoknya!
Kisah Totto-chan merupakan rekonstruksi masa kecil Tetsuko Kuroyanagi bertajuk “Gadis Cilik di Jendela”. Kenakalan anak-anak yang sarat dengan kelucuan, adegan persahabatan yang mengharukan, sekaligus menggugah harapan. Ditulis begitu apik dengan deskripsi yang utuh, serta kekuatan narasi yang runtut. Semuanya bertemali dari awal hingga akhir. Banyak hal penting yang bisa dipetik dari kisah Totto-chan, yakni kenakalan tak selalu bernilai negatif.
Anak-anak memiliki dunianya sendiri, kerap ‘bahasa kecil’ mereka tak dipahami oleh para guru atau orang tua. Padahal anak seperti Totto-chan ingin menemukan jawaban atas keingin-tahuannya. Contoh sederhananya, saat pelajaran berenang di kelas Totto-chan. Semua murid diajak telanjang bersama, tanpa ada pikiran minus. Sebab tubuh memiliki bentuknya sendiri. Bahkan Yasuaki-chan (cacat folio) memiliki rasa kepercayaan diri, padahal sebelumnya merasa minder. Begitu juga Totto-chan tak lagi menilai tubuh temannya dengan identifikasi; kecil, kurus, cacat atau gemuk.
Kisah Totto Chan mengingatkan kepada tentang apa yang seharusnya kita lakukan untuk pendidikan anak. Guru atau sekolah seringkali terlalu sibuk mengejar target kurikulum, membebani anak dengan pekerjaan rumah, tes atau ulangan yang tidak ada habis-habisnya, dan tunduk pada birokrasi pendidikan. Kita sering lupa bahwa mendengar suara anak dan mengabaikan hak anak dalam pendidikan.
Buku ini wajib dibaca oleh guru, orangtua murid, dan semua saja yang bersentuhan dengan pendidikan anak. Farida Indriastuti

Read more...

Totto-chan: Sekolah Impian Anak

hkjghkjbhsfodf ohouh ohouho uogho9ghuio gi9gbouh igbigi

Read more...

Sekolah tanpa batas

Sekolah tanpa batas
Sekolah tanpa batas
Sekolah tanpa batas

Read more...

About This Blog

Lorem Ipsum

  © Free Blogger Templates Digi-digi by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP